Argumentasi Formalitas Pembentukan Sikap pada Kurikulum


Kebahagiaan dalam belajar atau Kebiasaan dalam belajar? Pengekangan sekali, mengapa tidak kebiasaan bahagia dalam belajar? Apakah kurikulum sudah memberikan itu untuk siswa?
   Pendidikan terus berubah, bergerak mengembangkan sistem dengan melakukan revisi pada kurikulum. Dari KTSP menjadi Kurikulum 2013 pasti telah melewati banyak pertimbangan. Dari Teacher Center Learning menjadi Student Center Learning, selain itu Kurikulum 2013 juga Kurikulum yang diberlakukannya penilaian autentik yang menuntut penilaian yang dibagi menjadi tiga ranah yaitu afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotor (keterampilan) yang perlu dinilai seimbang dalam proses belajar di kelas (Nur Mutiya, dkk: 2018: 107).

Character Education is how we guide childern trough life in such a way that they will develop into adults with good moral characters capable of leading mature live both personally and socially (In Jae Lee, 2001: 72). Lickona (1991:51) defines character education as the delibate effort to develop good character based on core virtues that are good for individual and good for society. Lickona juga menyatakan bahwa "good character consist of knowing the good, desiring the good, and doing the good".

Sedangkan Jurnal yang ditulis oleh Santoso, Mulyoto, dan Djono (2019) yang mengutip Frye mendefinisikan Pendidikan karakter sebagai "a national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through an emphasis on universal values that we all share". Mengenai hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Pendidikan karakter merupakan bentuk usaha membentuk peserta didik menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu bagi Pendidikan di Indonesia, pembentukan karakter juga ditujukan untuk membentuk warga negara yang baik.

Dengan apa penerapan Pendidikan karakter di Indonesia? Pendidikan kurikulum Indonesia salah satunya berbasi budaya sekolah, yaitu pembiasaan nilai-nilai dalam keseharian di sekolah. Dapat dilihat bahwa pembiasaan mencium tangan, pembiasaan berdoa, literasi selama 10 menit, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap pagi sudah sering dilakukan setiap hari. Adapula kegiatan tahunan seperti Study Tour telah dilaksanakan guna meningkatkan kemampuan eksplorasi. Hal tersebut juga didukung bahwa tiap tingkatan kelas telah memiliki kompetensi dasar tersendiri mengenai penilaian sikap. Lalu, apakah metode tersebut dirasa telah efektif pada diri anak?

Carl R. Rogers (1982) mengutarakan prinsip-prinsip belajar yang humanistik salah duanya adalah belajar tanpa ancaman dan dengan inisiatif sendiri. Dengan pendapat tersebut, apakah pembiasaan yang diberikan kurikulum dengan diadakan kebiasaan rutin dan penilaian sikap sudah mampu memberikan karakter baik pada diri anak? Apakah sudah berhasil memberikan makna pada diri anak? Atau hanya sekadar agenda formalitas saja? Pada kenyataan yang terjadi, pembiasaan seperti ini disertai standar dari nilai sikap akan menimbulkan ada rupa tanpa makna. Di mana peserta didik melakukan bukan atas kemauan namun tuntutan. Lantas bagaimana pendidikan karakter yang baik itu?

Saya pikir, inilah tanggung jawab guru. Hampir sama dengan pendapat menurut Kelly Rizzo dan Mira Bajovic (2016), educator have long been seen as influential in the development of society's young through the advancement of moral understanding. It is reasonable to expect  that teacher candidates attending pre-service programs would be receiving training in preparation for this expectation. In reality, it is not always the case. In fact, the lack of preparation of pre-service teachers to deliver moral/character education has been raised in the literatire as a concern. 

Guru adalah pelaksana kurikulum, maka guru juga memegang peran penting dalam keberhasilan sistemnya. Untuk membentuk karakter anak, sifat formalitas tidak akan membantu. Anak hanya akan melakukan kebiasaan tanpa tahu arti dari diberlakukannya sikap itu. Seperti agenda membaca tiap pagi hanya akan memberatkan anak yang lebih suka mendengarkan. Terkadang jika terlalu formalitas sama seperti keresahan yang diutarakan Greg Wigan dan Marcia J. Watson (2016), "Teacher are taught to embrance one narrative, which ignores the experiences of students of color." dalam jurnalnya yang membahas tentang pentingnya menghormati tiap keunikan peserta didik.

Hal ini memang cukup poblematis jika dibahas. Di satu sisi, pembiasaan bersifat standarisasi akan sedikit memaksa (mengekang) dan tidak akan menciptakan makna dalam diri anak. Di sisi lain, jika tidak dimulai, kapan anak akan terbiasa? Keproblematisan ini juga disampaikan oleh Ryan Woodbury dan Daniel Lapsley, "We undertreated several important issues, such as what moral education is, how teacher align their own worldviews, privileges, and paradigms with those of their students, and who decides what acceptable behaviour is." penanaman Pendidikan karakter atau moral memang memerlukan kajian mendalam, karena ini tentang kepribadian yang terkesan abstrak.

Kita tahu bahwa Kurikulum 2013 membawa gebrakan mengenai pendidikan karakter, tapi sejalan dengan diterapkannya kurikulum masih banyak kasus yang melibatkan status siswa terhadap karakter yang dimilikinya Lalu apa yang salah? Karena, kebanyakan karakter yang diagendakan hanya sebatas menjadi ajaran saja, dilaksanakan oleh siswa sebagai bentuk formalitas tanpa menjumpai makna. Hampir mengekang, seolah kebebasan dipotong atas nama tuntutan.

Dengan digadangkannya Pendidikan Karakter sudah merupakan bentuk usaha dari pembenahan moral bangsa. Karena berdasarkan video yang pernah saya lihat, "Peserta didik mungkin hanya beberapa persen dari kita, namun mereka 100% aset bangsa.", juga sejalan dengan pendapat Supriati dkk (2019), "The developmen of human resources character became vital and there was no other option to establish a new Indonesia: the Indonesia that will be able to withstand the regional and global challenge.". Akan tetapi, dalam praktik yang penuh dengan standar akan terlalu membebankan mereka. Selain membebankan, akan mengekang keunikan yang tiap peserta didik punya.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Mark Linkins, Ryan M. Niemiec, Jane Gillham, dan Donna Mayerson (2014) mengutip dari Park & Petterson, "Individualized character education based on each student's character strenght profile." yang kemudian ditegaskan oleh penulis jurnalnya sendiri dengan, "Helping students to become well versed in the content of their character will serve them well beyond their school years.". Hal tersebut menandakan bahwa Pendidikan karakter dapat dilaksanakan tanpa adanya sebuah standar, karena peserta didik bersifat unik, mereka dapat menumbuhkan karakter individu mereka masing-masing, yaitu dengan membantu siswa menjadi versi yang lebih baik dari karakter mereka masing-masing tanpa menyamakannya satu sama lain. Pembahasan ini berkenaan dengan tugas guru untuk menyentuh hati peserta didiknya, menghidupkannya agar dapat mengembangkan diri.

Selain itu, solusi menerapkan Pendidikan karakter dalam tiap proses pembelajaran mungkin akan lebih baik. Seperti dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Santoso dkk (2019) yang intinya adalah menerapkannya dalam proses pembelajaran secara implisit akan memberikan pengalaman bermakna kepada peserta didik.

Adapula pembahasan mengenai penanaman karakter kepada peserta didik akan sangat menarik untuk dikaji, sama seperti Walker dkk (2013) yang berpendapat, "Inevitably, the effectiveness of moral educational programmes will depend to some extent on the goals of education and in the case of the legitimating principles of the flourishing pupil more research will be needed in order to work out how to practically develop character schemas (hexeis) in children rather than just institutionally compliant behaviour that does not transfer across domains and contexts. Overall, our current suggestion is that taxonomic bite into educational practice and policy for the message of the flourishing pupil will require an active helping hand from “knowledge brokers”." Maksudnya adalah untuk menggambarkan skema karakter peserta didik masih diperlukan banyak kajian daripada hanya perilaku yang sesuai secara kelembagaan.

Usaha pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013 tentu adalah usaha yang baik, hanya saja jangan menjadikan karakter yang berasas formalitas saja. Apakah anak harus berkembang karena standar atau kemauan?


Daftar Pustaka:
Lee, I.-J. (2001). The Proper Directions and Practical Ways for Character Education in the Korean Elementary School. Asia Pasific Education Review, 72-84.
Lickona, T. (1991). Educating for Character. New York: Bantam Books.
Linkins, M., Niemiec, R., Gillham, J., & Mayerson, D. (2015). Through the Lens of Strength: A Framework for Educating Heart. The Journal of Positive Psychology, 64-68.
Nur Mutia, N., & M. Insya Musa, Y. (2018). Pelaksanaan Penilaian Autentik Kurikulum 2013 pada Pembelajaran Tematik SD Gugus Markisa Kota Banda Aceh. Jurnla Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 108-113.
Rizzo, K., & Bajovic, M. (2016). Moral Literacy Through Two Lenses: Pre-Service Teachers' Preparation for Character Education. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education, 131-138.
Roggers, C. (1982). Freedom to Learn for the 80's. California: Charles E. Meril Publishing Company.
Santoso, F. P., Mulyoto, & Djono. (2019). A Character Education Model in Vocational School as the Provision for Entering Work Realm. Advances in Social Science, Education, and Humanities Reaserch, 216-219.
Supriati, A., Pangalila, T., & Umar, M. (2019). Education as The Process of Building the Character and Intelligent Generation of the Nations. Advances in Social Science, Education, and Humanities Research, 654-657.
Walker, D., Roberts, M., & Kristjansson, K. (2013). Towards a New Era of Character Education in Theori and in Practice. Educational Review, 79-96.
Wiggan, G., & Watson, M. (2016). Teaching the Whole Child: The Importance of Culturally Responsiveness, Community Engagement, and Character Development in High Achieving African American Students. Urban Rev, 766-798.
Woodbury, R., & Lapsley, D. (2016). On Preparing Moral Educators: A Reply to Commentators. Action in Teacher Education, 221-225.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Eksplanasi Singkat - "Hemat Listrik"

Menuliskan Gagasan Pokok Teks Visual dan Teks Petunjuk