Jubah Diri Akhlak Mulia



Ia terdiam, pagi buta tubuhnya sudah dikagetkan. Matanya melebar. Hembusan angin pagi tidak kalah dengan napasnya yang mendadak memburu.

“Maaf.” Aku mengambil beberapa bukunya yang terjatuh, tak lupa memasukan kembali lembarannya yang tercecer. Dengan tatapan seadanya, ku angkat buku itu ke hadapannya, “Maaf, sekali lagi.”

 “Hm....”

***

Pandangannya ke depan, menelisik, menatap lamat papan berspidol hitam. Sekalipun ocehan tak dimengerti sering menjadi irama yang memekakan, tangannya terus bergerak mencatat apapun yang akan menjadi ilmunya kelak. Siapa peduli.

Bahkan hingga saat bel berbunyi, bel yang siap menghamburkan siswa siswi ke luar kelasnya, ia masih di sana, duduk dengan kurva melengkung seraya menunduk hormat pada ibu guru. Ia mengambil alih beberapa buku yang menyulitkan lalu dibantunya ibu guru menuju ruang rehatnya, kantor.

“Aku tidak mengerti,” Aku hanya menggeleng, seolah gelengan itu bisa meruntuhkan kebingunganku, “Gadis itu terlalu maniak, bukannya terkesan cari perhatian?”

Sebelahku hanya berdecih, “Maksudmu?” matanya memicing tak mengerti.

“Ia membuat teman yang lain terlihat jelek ketika ia hanya tersenyum selagi yang lain sudah bertemu dengan pintu keluar.” Mataku menganalisis ke luar pintu yang masih terbuka.

Tidak banyak bergaul dan hanya bisa aktif di depan guru itu adalah sifat yang tidak bisa ku mengerti. Tatapannya seolah berbinar seiring goresan spidol pada papan, menganggap teori guru bagaikan musik ajaib, dan tugas menjadi sesuatu yang gemerlap, itu aneh. Ia tidak berbeda dengan anak kecil yang tersenyum sendiri pada mainannya. Bukankah sosialisasi adalah salah satu proses berkembangnya manusia? Atau memang dia saja yang bukan manusia.

Sebelahku lagi-lagi hanya mengibaskan tangannya, menerbangkan jauh lamunan dan menarik kembali perhatianku, “Tak ada yang spesial akan hal itu. Bukannya wajar? Setiap orang punya sifatnya sendiri.”

“Ini berbeda.” Elakku.

“Apanya?” Ia menaikan nadanya tak sabar.

Aku menghela, menghembuskan napas berat karena tak mengerti mengapa gadis di sebelahku tidak dapat menangkapnya, “Kita sudah remaja dan banyak benda menarik di luar sana. Aneh saja mengapa ia lebih tertarik kepada buku. Aku pikir bukunya sama sekali tidak memiliki layar.”

“Kau pikir dia itu sama sepertimu?”

“Baiklah, terserah.”

***

Baru saja dibebaskan oleh pemandangan langit biru, mataku kembali mendapati gadis aneh itu duduk di ujung dengan lembaran yang dihempas sekali pandang. Pensilnya digerakan teratur sesuai garis pada buku. Apa ia tidak bosan?

“Hey teman, ingatkah dengan beberapa acara yang akan dilaksanakan oleh sekolah dalam minggu ini?” Seseorang berdiri di tengah dengan tangan terangkat memegang lembaran. Suara besarnya sontak menarik penghuni kelas berkumpul dalam satu lingkaran.

Aku memilih untuk ikut berkumpul, mengikis jarak fisik dan melangkah mendekat.

“Akan ada lomba kebersihan, menurut kalian apa tema yang bisa kita ambil?” sang ketua membuka suara.
Detik berikutnya beberapa tangan terangkat menuju udara dan beberapa ada yang bersuara seenaknya. Kelas menjadi ramai dengan beberapa pendapat dan argumen yang dilontarkan mentah-mentah. Membuat atmosfer yang semula damai menjadi gaduh dalam sekejap.

Tidak tertarik untuk menjawab, aku justru menatap gadis itu yang hanya sesekali mengalihkan pandangan dari buku untuk formalitas bahwa ia ikut menyimak diskusi kelas. Gerakannya terlalu irit dan cenderung terus membaca. Sekalipun kelas menjadi riuh, wajahnya terlihat santai tanpa beban tatkala terus menambah bacaan.

Aku tersentak, seseorang menyenggol lenganku tiba-tiba. Orang yang duduk di sebelahku, Puji, “Apa yang kau lakukan? Berhenti menatap sarkastik ke arahnya.”

“Aku hanya sedang tidak mengerti.”

“Ada yang butuh nilai geografi?” Orang lainnya masuk, mengambil seluruh perhatian kelas dalam satu detik. Bukan hanya ocehan, kali ini gemuruh langkah serempak mendekat ke arah barang bawaan orang tadi. Detik berikutnya terdengar pekikan kencang bersautan.

“Oh tidak! Enam puluh?”

“Bagaimana bisa nilaiku turun empat poin?”

“AAAAKKK!!”

“Hanya saja berkat nilai kalian aku menjadi kagum dengan satu-satunya nilai sembilan puluh di sini.” Aku melihat selembar kertas terulur tinggi ke atas. Semua netra berusaha menangkap jelas nama di kertasnya.
Aku terkejut. Nama gadis itu.

“Uwaaahh!” teriak penghuni kelas kompak. Empunya kertas berjalan pelan mendekat, tersenyum irit berusaha mendapatkan kertasnya malu-malu.

“Lihat?” Puji menekan kalimatnya.

“Ada guru!!” Teriak seseorang. Spontan seluruh kelas kembali gaduh, sibuk dengan penghuni yang sedang mencari tempatnya sendiri-sendiri.

Aku duduk dengan tatapan datar tak mengerti, sedangkan Puji duduk tegap dengan cengiran bangganya, “Orang melakukan sesuatu pasti ada hasilnya. Dia mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan apa yang dia perjuangkan.”

Aku terdiam, menelaah setiap baris kalimatnya.

“Bukan sebuah akhlak yang mulia ketika kita berburuk sangka kepada seseorang. Kita memang remaja, tapi punya aturan dan jangan melupakan akhlaknya.” Sambung Puji melebarkan senyumannya.

“Tapi bagai mana dengan dirinya yang sulit untuk bergabung dengan teman-teman?”

“Ia hanya tak tahu bagaimana cara terbaik untuk berbicara dengan teman. Aku pikir ia memang seorang yang pemalu.” Jawab Puji seadanya.

Aku mengangguk mengerti.

Akhlak. Aku lupa bagaimana akhlak menjadi bagian mendasar dari orang bersosialisasi. Ia sudah menerapkan akhlaknya, sekalipun belum mengerti bagaimana cara bersosialisasi dengan baik. Baiklah, sedikit presepsiku berubah untuknya. Kadang memang banyak hal yang membuat orang salah sangka, namun banyak pula cara bagi kita untuk menepis buruk sangka.

"Baiklah, berhenti melamun dan dengarkan guru bicara. Itu juga termasuk akhlak mulia." Ucap Puji memeringati.

"Oke baiklah."



Komentar

Posting Komentar

Hai! Jika ada yang ingin disampaikan, komentar di sini, ya!

Postingan populer dari blog ini

Teks Eksplanasi Singkat - "Hemat Listrik"

Menuliskan Gagasan Pokok Teks Visual dan Teks Petunjuk